Minggu, 28 April 2013


“JANGAN PERGI KE KANTIN”
By : Anonimous

Rudi menarik nafas panjang.Ia penat setelah beraktivitas seharian.sembari duduk dengan posisi malas-malasan ia menggumam pelan,”hari ini dosen tak masuk lagi”. Togu melirik acuh tak acuh. Ia sedang berkonsentrasi  dengan laptopnya.Rudi mendongakkan kepalanya kemudian mengumpat dengan tiba-tiba “ah telor, maen game nya rupanya kau”. Togu diam saja. Mungkin otaknya sudah dijajah teknologi.baginya dia sedang berada di surga khayalan, atau pertarungan yang memabukkan. Ya bahkan dalam game komputer pun, orang mabuk kekuasaan, prestasi dan kedigdayaan.
Siapa mesan soto? Sontak Togu terkesiap,lalu reflek mengangkat tangannya, “sini kak” ujarnya lagi tanpa memalingkan wajahnya dari laptop. Rudi tersenyum, dari tempat duduknya di pojok kantin ,baginya pojok kantin adalah singgasananya.dari sini ia suka mengamati orang-orang lalu lalang, duduk, datang dan pergi lagi. Kantin memang punya daya tariknya sendiri, bukan hanya makanan,kerumunan penghilang rasa sepi, seperti yang dicari Rudi.

Di pojok lain kantin, juga berkerumun segerombolan mahasiswa, plus seorang dosen. Dosen yang satu ini agaknya cukup luwes bergaul dengan mahasiswa. Mungkin dia cukup paham dengan demokrasi, atau hanya pencari kerumunan saja seperti yang dilakukan Rudi.sekilas tidak ada yang aneh dengan suasana ini. Tapi bagi Rudi yang sudah bertahun-duduk di singgasananya, ia sangat paham akan batas-batas yang tak kelihatan antar kerumunan, bentuk sial dari sikap-sikap yang apriori atau sisa-sisa primordialisme kaum purba. “Di kampus , kita harus pintar-pintar, kadang-kadang pintar yang sesungguhnya tidak diperlukan”celoteh sang dosen dengan semangat, disambut dengan tawa cekikikan para mahasiswi yang sangat semangat mendengarkannya. Rudi mengernyitkan keningnya, mencoba mencari kelucuan dari ungkapan dosen itu. Tapi otaknya masih saja tak bisa menalar.

“hai bang, lagi ngapain” Rudi menoleh kekiri. Di sampingnya berdiri  Sondang, adik stambuknya. “darimana dek” ujar Rudi tanpa menjawab pertanyaan Sondang. “Dari perpus bang”tukasnya cepat sambil memperlihatkan senyum manisnya. “duduk dek”, Rudi sebenarnya sudah terlanjur senang akan punya teman ngobrol.”aku ada kerjaan bang, pigi dulu ya” Sondang berlalu dan Rudi bersandar lagi dengan gaya malas-malasan. Hari ini sepertinya serba memuakkan baginya, di pojok itu sedang sepi, dua kursi kayu di sebelahnya kosong, sementara Togu masih melotot dengan laptopnya ditemani nasi soto yang sudah kelihatan dingin.
*
“Mami, pesan teh manis panas satu,ucap Rudi kepada pemilik kantin di suatu pagi”. “Teh manis panas satuuu…!teriak mami kepada Fat, pekerjanya yang modis dan suka genit. “Rudi sambung mami lagi dengan suara pelan, kau pernah jumpa sama Roni atau Bob,?” “Blum Mi, knapa?”Mereka blum bayar utang, mami mau tutup bulan depan, sudah pasti katanya, mau bangun gedung disini,klo jumpa kasih tau Mami yaa..” “Yaa”, jawab Rudi sekenanya.

Rudi kembali duduk sambil menunggu pesanannya.berpikir dan melamun. Bukan tentang rekan brengsek yang lari dari hutang, melainkan tentang kantin dan singgasananya. Ia khawatir kehilangan sesuatu, yang ia sendiri pun tak bisa mendefenisikannya. Yang ia tahu, di samping urusan perut, kantin adalah tempatnya tertawa terbahak-bahak, kantin adalah tempatnya menghabiskan waktu menunggu para dosen malas dan suka telat, bertukar pikiran atau mengerjakan tugas, berdebat, berdiskusi, bernyanyi-nyanyi, dan semua tetek bengek ekspresi humanisnya.

Pikirannya kembali menerawang saat pertama menginjak kampus.”jangan ke kantin dek, di pojok kantin sana ada gerombolan.”ujar salah satu seniornya,dengan semangat walaupun air liurnya nyaris meleleh karena sedikit giman. Penasaran, Rudi malah semakin sering kekantin. Memang di sana ada gerombolan tapi mereka ternyata  gerombolan mahasiswa yang kreatif dan inovatif. Walaupun ada kreatifitas yang nyeleneh dari sebagian orang, membasmi nyamuk dengan asap dari mulut-mulut nya yang kecil dan imut.
“Bang..,..bang…sudah lama disini bang?” Lamunan Rudi buyar karena beberapa orang tiba-tiba datang. “Baru bentar dek, dari jam 8.” “Sekarang kan dah jam 11 bang”,,”Trus?” 3 jam abang bilang bentar?”Odong-odong juga abang ne bah”serentak mereka tertawa,Rudi terkekeh-kekeh, dan ia pun terlupa akan lamunannya itu.”bang, sini yok, ada yang mau kami diskusikan”. Rudi pun pindah tempat duduk, ia tak menampik, lagipula ada Sondang, yang lagi-lagi tersenyum manis.
**
Beberapa bulan sudah berlalu, suatu hari Rudi pergi ke kampus. Akhirnya kehawatirannya menjadi kenyataan, kantin sudah tak beratap, Rudi menggerutu,,”Lappetlah” sambil menendang dedaunan kering di lantai bekas kantin. Takkan ada lagi sugesti “jangan pergi ke kantin dek, atau jangan lama-lama di sana.” Takkan ada lagi canda tawa dan kelucuan-kelucuan yang membuatnya betah di kampus, tak ada tempat yang nyaman untuk berdiskusi dan menyalurkan aspirasi,apalagi tempat nyanyi-nyanyi, atau sekedar mengintip senyuman manis Sondang…
***